Ads 468x60px

LDK-JS UNPAR

"Bersama Kita Bisa"

Social Icons

Dari Gelap menuju Cahaya; Habis Gelap Terbitlah terang


            Ra. Kartini sebuah nama yang tidak asing lagi. Sosok yang jasanya selalu dikenang. Sosok yang dianggap sebagai tokoh emansiapsi wanita. Sosok yang dianggap pembebas hak-hak wanita dari ketidakadilan. Kita harus menelaah berbagai informasi agar kita mengetahui secara jelas bagaimana dia berkontribusi. Tergerak untuk memaknai sebuah kalimat “Habis gelap terbitlah terang” yang menjadi judul buku berisikan surat-surat Ra. kartini berbahasa belanda –terjemahan armijn pane- yang ditujukan kepada para sahabatnya di eropa. Yuuukk kita berkenalan dengan kartini sedikit.
Ra. Kartini merupakan seorang putri Bupati Jepara yang menganut islam sejak dini. Namun Ra. Kartini baru merasakan cahaya islam ketika bertemu dengan kyai Haji Mohammad Sholeh bin umar atau lebih dikenal dengan nama Kyai Sholeh darat. Saat itu Kyai sedang mengisi pengajian di rumah pamannya –pangeran Ario Hadiningrat- dengan materi tafsir Al-Fatihah. Ra. Kartini begitu terpukau mendengarkan penjelasan ayat demi ayat yang disampaikan oleh sang kyai. Saat itu belum ada terjemahan Alquran seperti saat ini. 

Selama ini dia membaca alquran tanpa mengetahui maknanya dan dia merasa bahwa semua itu tidak ada gunanya. Seperti yang tertuang dalam surat yang dia tuliskan untuk Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis;
Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca.
Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.

Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?
                 Setelah pengajian selesai. Kartini meminta pamannya agar bersedia menemaninya menemui sang kyai. Berikut petikan dialog antara Kyai Sholeh dan Kartini,yang ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu sang kyai:
“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan sesuatu. Bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?”
Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu.
“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?”. Kyai Sholeh Darat balik bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas dalam pikirannya.
“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Dialog berhenti sampai di situ. Ny Fadhila menulis Kyai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali Subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa.

Setelah pertemuan itu, Kyai Sholeh menerjemahkan ayat demi ayat, juz demi juz. Sebanyak 13 juz terjemahan dan diberikan sebagai hadiah perkawinan Kartini. Kartini menyebutnya sebagai kado pernikahan yang tidak bisa dinilai manusia.
Kyai Sholeh telah menjadi perantara bagi kartini untuk mengenal islam. Pandangan Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah. Seperti tertuang dalam suratnya kepada Ny Abendanon tanggal 27 Oktober 1902.
Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.

Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.
Kartini menemukan dalam surat Al-Baqarah ayat 257 bahwa ALLAH-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minazh-Zhulumaati ilan Nuur). Kartini terkesan dengan kata-kata Minazh-Zhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya. Dalam surat-suratnya kemudian, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat “Dari Gelap Kepada Cahaya” ini.
Dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis;
“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.
Ra. Kartini wafat pada tahun 1904 sehingga dia tidak bisa menjelaskan secara rinci makna tulisan dari gelap kepada cahaya itu kepada para sahabatnya. Padahal sebenarnya makna habis gelap terbitlah terang adalah bahwa kartini merasakan dirinya telah mengalami perubahan spiritual. Dari awalnya dia tidak tahu apa-apa tentang islam, setelah dia membaca terjemahannya dia menjadi tahu tentang islam. Dari gelap menuju cahaya, habis gelap terbitlah terang, dari kejahilan menuju kebenaran.
Sungguh beragam orang memaknai kalimat habis gelap terbitlah terang. Terutama para kaum feminis. Mereka menganggap bahwa kalimat itu bermakna, kartini sudah bebas dari pingitan, sudah bebas dari kekangan adat istiadat yang tidak membolehkan seorang wanita melakukan kegiatan tanpa didampingi seorang suami. Padahal sesungguhnya ungkapan itu adalah bukti kesyukurannya merengkuh cahaya islam.
Wahai sahabatku para muslimah..
                    Ra. Kartini lebih kita contoh dari sisi keteguhannya mengenal islam. Dia tidak mau membaca Alquran tanpa mengetahui maknanya. Seperti yang disampaikan dalam sebuah riwayat “ seseorang yang membaca Alquran tanpa mengetahui tafsirnya bagaikan seorang yang mendapat surat dari raja namun tidak membawa penerang (senter,lilin,dll -red) untuk membacanya. Jadi dia tidak tahu tujuan surat itu kemana dan untuk siapa. Dan seseorang yang membaca Alquran dengan mengetahui tafsirnya bagaikan seseorang yang mendapatkan surat dari raja dan dia memiliki penerang untuk membacanya, jadi dia tahu kemana dan untuk siapa tujuannya”.
Bahkan saya pikir, jika dia mengetahui arti Alquran secara menyeluruh dan Allah memberinya kesempatan berumur panjang, pasti kartini juga sudah menjadi aktivis Islam. Seperti curahan hatinya yang tertuang dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini menulis;
Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.
Namun Allah punya rencana terindah bagi setiap hambaNya.
Semoga kita juga seperti itu, memaknai Islam dengan sebenar-benarnya. Membaca Alquran bukan sekedar bacaan. Namun kita harus memaknainya sebagai pedoman hidup untuk menuntun kita meraih kebahagiaan hidup yang hakiki. Mari memaknai “habis gelap terbitlah terang” seperti makna sebenarnya yang diharapkan oleh seorang Kartini.