Imam Bukhari rahimahullah membuat
bab di dalam Shahihnya di Kitab al-Iman sebuah bab dengan judul “Bab. Rasa takut seorang mukmin dari lenyapnya amalannya dalam
keadaan dia tidak menyadarinya”. Di dalamnya beliau membawakan perkataan para ulama salaf
yang menunjukkan betapa besar rasa takut mereka terhadap hal ini. Takut
kalau-kalau apa yang selama ini mereka lakukan ternyata tidak bermanfaat di
sisi Allah ta’ala. Padahal, mereka adalah mereka.
[1] Ucapan Ibrahim at-Taimi
Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata, “Tidaklah aku menghadapkan ucapanku kepada perbuatanku kecuali aku
khawatir bahwa aku pasti akan didustakan.” Ibrahim at-Taimi adalah salah seorang fuqaha
tabi’in dan ahli ibadah diantara mereka. Maksud ucapan beliau adalah: Aku takut
orang yang melihat amalanku akan mendustakanku apabila perbuatanku bertentangan
dengan apa yang aku katakan. Sehingga orang itu akan berkata, “Seandainya kamu jujur niscaya kamu tidak akan melakukan sesuatu
yang bertentangan dengan ucapanmu.” Beliau mengucapkan hal itu karena beliau adalah orang yang
sering memberikan nasehat dan pelajaran kepada orang-orang.
Sebagai orang yang biasa memberikan nasehat
kepada orang lain, beliau menyadari bahwa dirinya tidak bisa mencapai puncak kesempurnaan
amalan. Di sisi yang lain, beliau juga mengetahui bahwa Allah mencela orang
yang memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar namun tidak
beramal dengan baik. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Amat besar kemurkaan di sisi Allah, ketika kalian mengucapkan
apa-apa yang kalian sendiri tidak lakukan.” (QS. ash-Shaff: 3). Oleh karena itulah beliau
merasa khawatir dirinya termasuk golongan pendusta atau menyerupai perilaku
para pendusta (lihat Fath al-Bari [1/136-137])
[2] Ucapan Ibnu Abi Mulaikah
Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah berkata, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang Sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka semua takut kemunafikan minimpa dirinya.
Tidak ada seorang pun diantara mereka yang mengatakan bahwa keimanannya sejajar
dengan keimanan Jibril dan Mika’il.” Para Sabahat yang ditemui oleh Ibnu Abi Mulaikah ketika itu
-yang paling mulia diantara mereka- adalah ‘Aisyah, Asma’, Ummu Salamah,
Abdullah bin ‘Abbas, Abdullah bin ‘Umar, Abdullah bin ‘Amr, Abu Hurairah,
‘Uqbah bin al-Harits, dan al-Miswar bin Makhramah.
Perasaan itu muncul dalam diri mereka disebabkan
seorang mukmin terkadang amalannya tercampuri oleh hal-hal yang bertentangan
dengan keikhlasan. Bukan berarti, apabila mereka takut akan hal itu mereka benar-benar
terjerumus ke dalamnya. Akan tetapi itu semua dikarenakan kesungguhan mereka
dalam hal wara’/kehati-hatian dan ketakwaan. Mereka juga menyadari bahwa
keimanan manusia tidaklah seperti keimanan Jibril yang tidak pernah tertimpa
kemunafikan. Mereka menyadari bahwa keimanan manusia itu bertingkat-tingkat,
tidak dalam derajat yang sama. Tidak sebagaimana orang-orang Murji’ah yang
beranggapan bahwa keimanan orang-orang yang paling baik (kaum shiddiqin) sama
dengan keimanan orang-orang selain mereka (lihat Fath al-Bari [1/137])
[3] Ucapan Hasan al-Bashri
Hasan al-Bashri rahimahullah juga
mengatakan, “Tidaklah merasa takut darinya
(kemunafikan) kecuali orang mukmin.” Ja’far al-Firyabi mengatakan: Qutaibah menuturkan kepada
kami. Dia berkata: Ja’far bin Sulaiman menuturkan kepada kami, dari al-Mu’alla
bin Ziyad. Dia berkata: Aku mendengar al-Hasan bersumpah di dalam masjid ini, “Demi Allah, yang tidak ada sesembahan -yang benar- selain Dia.
Tidaklah berlalu dan hidup seorang mukmin melainkan dia pasti merasa takut dari
kemunafikan. Dan tidaklah berlalu dan hidup seorang munafik melainkan dia pasti
merasa aman dari kemunafikan.” Beliau (Hasan al-Bashri) berkata, “Barangsiapa yang tidak khawatir dirinya tertimpa kemunafikan maka
justru dialah orang munafik.” (lihat Fath al-Bari[1/137])
Demikianlah Karakter Mereka …
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang karena rasa takut mereka kepada
Rabbnya maka mereka pun dirundung oleh rasa cemas. Orang-orang yang mengimani
ayat-ayat Rabb mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Rabb mereka.
Begitu pula orang-orang yang memberikan apa yang mampu mereka sumbangkan
sementara hati mereka diwarnai dengan rasa takut, bagaimana keadaan mereka
kelak ketika dikembalikan kepada Rabb mereka. Mereka itulah orang-orang yang
bersegera dalam melakukan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang
terdahulu melakukannya.” (QS.
al-Mu’minun: 57-61)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bersama dengan kebaikan, keimanan, dan amal saleh yang ada pada
diri mereka ternyata mereka juga senantiasa merasa takut dan khawatir akan
hukuman Allah serta makar-Nya kepada mereka. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Hasan al-Bashri, “Seorang mukmin memadukan antara berbuat ihsan/kebaikan dengan
rasa takut. Adapun orang kafir memadukan antara berbuat jelek/dosa dan rasa
aman.”.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/350] cet. Maktabah at-Taufiqiyah).
Isma’il bin Ishaq menyebutkan riwayat dengan
sanadnya, dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa suatu ketika dia bertanya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang-orang yang dimaksud oleh ayat
(yang artinya), “Orang-orang yang memberikan
apa yang telah berikan, sedangkan hati mereka merasa takut.” (QS. al-Mukminun: 60). Maka Nabi menjawab, “Mereka itu adalah orang-orang yang rajin menunaikan sholat,
berpuasa, dan bersedekah. Meskipun demikian, mereka merasa takut apabila
amal-amal mereka tidak diterima di sisi-Nya.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/110])
Demikianlah keadaan orang-orang yang tauhidnya
lurus. Mereka khawatir diri mereka terjerumus dalam hal-hal yang merusak
keimanan mereka dalam keadaan mereka tidak menyadarinya. Ibrahim ‘alahis salam -seorang
Nabi Allah, Ulul Azmi, bapaknya para Nabi, pemimpin orang-orang yang bertauhid,
dan kekasih ar-Rahman- pun menyimpan rasa takut yang sangat besar dari
kemusyrikan. Allah ta’ala mengisahkan doa yang beliau panjatkan, “(Wahai Rabbku) Jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah
berhala.” (QS.
Ibrahim: 35). Ibrahim at-Taimi pun berkomentar, “Lantas, siapakah yang bisa merasa aman dari musibah (syirik) setelah Ibrahim?” (lihat Fath al-Majid Syarh Kitab
at-Tauhid, hal. 72 cet.
Dar al-Hadits)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam bahkan mengkhawatirkan syirik menimpa
dirinya, padahal beliau adalah kekasih ar-Rahman dan imamnya orang-orang yang
hanif/bertauhid. Lalu bagaimana menurutmu dengan orang-orang seperti kita ini?!
Maka janganlah kamu merasa aman dari bahaya syirik. Jangan merasa dirimu
terbebas dari kemunafikan. Sebab tidaklah merasa aman dari kemunafikan kecuali
orang munafik. Dan tidaklah merasa takut dari kemunafikan kecuali orang
mukmin.” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/72] cet. Maktabah al-’Ilmu)
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Apabila Ibrahim ‘alaihis salam; orang yang telah merealisasikan tauhid dengan
benar dan mendapatkan pujian sebagaimana yang telah disifatkan Allah
tentangnya, bahkan beliau pula yang telah menghancurkan berhala-berhala dengan
tangannya, sedemikian merasa takut terhadap bencana (syirik) yang timbul
karenanya (berhala). Lantas siapakah orang sesudah beliau yang bisa merasa aman
dari bencana itu?!” (lihat at-Tamhid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 50)
Kisah Tsabit bin Qais
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, beliau mengisahkan: Tatkala turun ayat ini (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengangkat suara
kalian lebih tinggi daripada suara Nabi. Dan janganlah kalian mengeraskan suara
kalian di hadapannya sebagaimana kalian ketika kalian berbicara satu dengan
yang lain, karena hal itu akan membuat amal kalian menjadi terhapus dalam
keadaan kalian tidak menyadari.” (QS. al-Hujurat: 2). Maka Tsabit bin Qais pun hanya
duduk di rumahnya dan berkata, “Aku termasuk penghuni neraka.” Dan dia pun menutup diri tidak mau berjumpa
dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Sa’ad bin Mu’adz, “Wahai Abu ‘Amr, ada apa dengan Tsabit? Apakah dia sedang sakit?”. Sa’ad menjawab, “Sesungguhnya dia adalah tetanggaku. Dan sepengetahuanku dia tidak
sakit.” Anas
berkata: Maka Sa’ad bin Mu’adz pun mendatanginya lalu menceritakan kepadanya
perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tersebut.
Tsabit pun menjawab, “Telah turun ayat ini. Dan
kalian pun mengetahui bahwasanya aku adalah orang yang paling tinggi suaranya
dibandingkan kalian di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau
begitu berarti aku termasuk penghuni neraka.” Kemudian, Sa’ad pun menceritakan hal itu
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bahkan dia termasuk penghuni
surga.” (HR.
Muslim dalam Kitab al-Iman [119])
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Apabila dengan mengangkat suara mereka lebih tinggi daripada
suara beliau itu menjadi sebab terhapusnya amalan mereka, maka bagaimana lagi
dengan orang yang lebih mendahulukan pendapat mereka, akal mereka, perasaan
mereka, politik mereka, atau pengetahuan mereka daripada ajaran beliau bawa dan
mengangkat itu semua di atas sabda-sabda beliau? Bukankah itu semua lebih
pantas lagi untuk menjadi sebab terhapusnya amal-amal mereka?” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/407])
Lihatlah saudaraku, bagaimana para ulama salaf
dengan ketakwaan dan ilmu yang
mereka miliki. Mereka begitu merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan.
Demikian pula Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang khawatir dirinya terjerumus dalam
kemusyrikan. Begitu pula, Sahabat Tsabit bin Qais radhiyallahu’anhu yang takut amalnya terhapus karena suaranya lebih
tinggi daripada suara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidakkah kita -dengan segala kekurangan dan
dosa yang kita miliki- merasa takut diri kita terjatuh ke dalam kemunafikan, syirik, dan terhapusnya amal kita dalam keadaan kita tidak
sadar?! Aduhai, siapakah kita jika dibandingkan dengan mereka semua??
Sumber: Muslim.Or.Id'