Segala puji bagi Allah,
Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan
sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir
zaman.
Tulisan kali ini adalah kelanjutan dari tulisan sebelumnya
mengenai lima hal yang menyebabkan mandi wajib. Saat ini kami akan memaparkan
serial kedua dari tiga serial secara keseluruhan tentang tata cara mandi wajib
(al ghuslu). Semoga pembahasan kali
ini bermanfaat.
Niat, Syarat Sahnya Mandi
Para ulama mengatakan bahwa di antara fungsi niat adalah untuk
membedakan manakah yang menjadi kebiasaan dan manakah ibadah. Dalam hal mandi
tentu saja mesti dibedakan dengan mandi biasa. Pembedanya adalah niat. Dalam
hadits dari ‘Umar bin Al Khattab, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap
amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan
Muslim no. 1907)
Rukun Mandi
Hakikat mandi adalah mengguyur seluruh badan dengan air, yaitu
mengenai rambut dan kulit.
ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى
جَسَدِهِ كُلِّهِ
“Kemudian beliau mengguyur
air pada seluruh badannya.” (HR. An Nasa-i no. 247. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Penguatan makna dalam hadits
ini menunjukkan bahwa ketika mandi beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.”[1]
Dari Jubair bin Muth’im berkata, “Kami saling memperbincangkan
tentang mandi janabah di sisi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda,
أَمَّا أَنَا فَآخُذُ مِلْءَ كَفِّى
ثَلاَثاً فَأَصُبُّ عَلَى رَأْسِى ثُمَّ أُفِيضُهُ بَعْدُ عَلَى سَائِرِ جَسَدِى
“Saya mengambil dua
telapak tangan, tiga kali lalu saya siramkan pada kepalaku, kemudian saya
tuangkan setelahnya pada semua tubuhku.” (HR. Ahmad 4/81. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari
Muslim)
Dalil yang menunjukkan bahwa hanya mengguyur seluruh badan
dengan air itu merupakan rukun (fardhu) mandi dan bukan selainnya adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah. Ia mengatakan,
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى
امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِى فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ قَالَ « لاَ
إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِى عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ
تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ ».
“Saya berkata, wahai
Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus
membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu
tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR.
Muslim no. 330)
Dengan seseorang memenuhi rukun mandi ini, maka mandinya
dianggap sah, asalkan disertai niat untuk mandi wajib (al ghuslu). Jadi seseorang yang mandi di pancuran atau shower dan air mengenai seluruh
tubuhnya, maka mandinya sudah dianggap sah.
Adapun berkumur-kumur (madhmadhoh),
memasukkan air dalam hidung (istinsyaq) dan
menggosok-gosok badan (ad dalk)
adalah perkara yang disunnahkan menurut mayoritas ulama.[2]
Tata Cara Mandi yang
Sempurna
Berikut kita akan melihat tata cara mandi yang disunnahkan.
Apabila hal ini dilakukan, maka akan membuat mandi tadi lebih sempurna. Yang
menjadi dalil dari bahasan ini adalah dua dalil yaitu hadits dari ‘Aisyah dan
hadits dari Maimunah.
Hadits pertama:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ –
صلى الله عليه وسلم – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ إِذَا
اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ كَمَا
يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ ، ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِى الْمَاءِ ، فَيُخَلِّلُ
بِهَا أُصُولَ شَعَرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ،
ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ
Dari ‘Aisyah,
isteri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, bahwa jika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mandi junub, beliau memulainya dengan mencuci
kedua telapak tangannya. Kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk
shalat. Lalu beliau memasukkan jari-jarinya ke dalam air, lalu menggosokkannya
ke kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas kepalanya dengan cidukan
kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengalirkan air ke
seluruh kulitnya.” (HR. Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316)
Hadits kedua:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَتْ
مَيْمُونَةُ وَضَعْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَاءً يَغْتَسِلُ
بِهِ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ ، فَغَسَلَهُمَا مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ أَوْ
ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ ، فَغَسَلَ مَذَاكِيرَهُ ،
ثُمَّ دَلَكَ يَدَهُ بِالأَرْضِ ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ، ثُمَّ غَسَلَ
وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ غَسَلَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى
جَسَدِهِ ، ثُمَّ تَنَحَّى مِنْ مَقَامِهِ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ
Dari Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Maimunah mengatakan, “Aku pernah menyediakan air mandi untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu
beliau menuangkan air pada kedua tangannya dan mencuci keduanya dua kali-dua
kali atau tiga kali. Lalu dengan tangan kanannya beliau menuangkan air pada
telapak tangan kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya. Setelah itu beliau
menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian beliau berkumur-kumur dan memasukkan
air ke dalam hidung. Lalu beliau membasuh muka dan kedua tangannya. Kemudian
beliau membasuh kepalanya tiga kali dan mengguyur seluruh badannya. Setelah itu
beliau bergeser dari posisi semula lalu mencuci kedua telapak kakinya (di
tempat yang berbeda).” (HR. Bukhari no. 265 dan Muslim no. 317)
Dari dua hadits di atas, kita dapat merinci tata cara mandi yang
disunnahkan sebagai berikut.
Pertama: Mencuci tangan terlebih
dahulu sebanyak tiga kali sebelum tangan tersebut dimasukkan dalam bejana atau
sebelum mandi.
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan,
“Boleh jadi tujuan untuk mencuci tangan terlebih dahulu di sini adalah untuk
membersihkan tangan dari kotoran … Juga boleh jadi tujuannya adalah karena
mandi tersebut dilakukan setelah bangun tidur.”[3]
Kedua: Membersihkan kemaluan
dan kotoran yang ada dengan tangan kiri.
Ketiga: Mencuci tangan setelah
membersihkan kemaluan dengan menggosokkan ke tanah atau dengan menggunakan
sabun.
An Nawawi rahimahullah mengatakan,
“Disunnahkan bagi orang yang beristinja’ (membersihkan kotoran) dengan air,
ketika selesai, hendaklah ia mencuci tangannya dengan debu atau semacam sabun,
atau hendaklah ia menggosokkan tangannya ke tanah atau tembok untuk
menghilangkan kotoran yang ada.”[4]
Keempat: Berwudhu dengan wudhu
yang sempurna seperti ketika hendak shalat.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan,
“Adapun mendahulukan mencuci anggota wudhu ketika mandi itu tidaklah wajib.
Cukup dengan seseorang mengguyur badan ke seluruh badan tanpa didahului dengan
berwudhu, maka itu sudah disebut mandi (al ghuslu).”[5]
Untuk kaki ketika berwudhu, kapankah dicuci?
Jika kita melihat dari hadits Maimunah di atas, dicontohkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
beliau membasuh anggota wudhunya dulu sampai membasuh kepala, lalu mengguyur
air ke seluruh tubuh, sedangkan kaki dicuci terakhir. Namun hadits ‘Aisyah menerangkan
bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berwudhu secara sempurna (sampai mencuci
kaki), setelah itu beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.
Dari dua hadits tersebut, para ulama akhirnya berselisih
pendapat kapankah kaki itu dicuci. Yang tepat tentang masalah ini, dua cara
yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah bisa sama-sama digunakan. Yaitu
kita bisa saja mandi dengan berwudhu secara sempurna terlebih dahulu, setelah
itu kita mengguyur air ke seluruh tubuh, sebagaimana disebutkan dalam riwayat
‘Aisyah. Atau boleh jadi kita gunakan cara mandi dengan mulai berkumur-kumur,
memasukkan air dalam hidup, mencuci wajah, mencuci kedua tangan, mencuci
kepala, lalu mengguyur air ke seluruh tubuh, kemudian kaki dicuci terakhir.
Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan,
“Tata cara mandi (apakah dengan cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan
Maimunah) itu sama-sama boleh digunakan, dalam masalah ini ada kelapangan.”[6]
Kelima: Mengguyur air pada
kepala sebanyak tiga kali hingga sampai ke pangkal rambut.
Keenam: Memulai mencuci kepala
bagian kanan, lalu kepala bagian kiri.
Ketujuh: Menyela-nyela rambut.
Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha disebutkan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله
عليه وسلم – إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ غَسَلَ يَدَيْهِ ، وَتَوَضَّأَ
وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اغْتَسَلَ ، ثُمَّ يُخَلِّلُ بِيَدِهِ شَعَرَهُ ،
حَتَّى إِذَا ظَنَّ أَنْ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ ، أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلاَثَ
مَرَّاتٍ ، ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ
“Jika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mandi junub, beliau mencuci tangannya dan berwudhu
sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau mandi
dengan menggosok-gosokkan tangannya ke rambut kepalanya hingga bila telah yakin
merata mengenai dasar kulit kepalanya, beliau mengguyurkan air ke atasnya tiga
kali. Lalu beliau membasuh badan lainnya.” (HR. Bukhari no. 272)
Juga ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha mengatakan,
كُنَّا إِذَا أَصَابَتْ إِحْدَانَا
جَنَابَةٌ ، أَخَذَتْ بِيَدَيْهَا ثَلاَثًا فَوْقَ رَأْسِهَا ، ثُمَّ تَأْخُذُ
بِيَدِهَا عَلَى شِقِّهَا الأَيْمَنِ ، وَبِيَدِهَا الأُخْرَى عَلَى شِقِّهَا
الأَيْسَرِ
“Jika salah seorang dari
kami mengalami junub, maka ia mengambil air dengan kedua tangannya dan
disiramkan ke atas kepala, lalu mengambil air dengan tangannya dan disiramkan
ke bagian tubuh sebelah kanan, lalu kembali mengambil air dengan tangannya yang
lain dan menyiramkannya ke bagian tubuh sebelah kiri.” (HR.
Bukhari no. 277)
Kedelapan: Mengguyur air pada
seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan setelah itu yang kiri.
Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه
وسلم – يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِى
شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam biasa mendahulukan yang kanan ketika memakai sendal, ketika bersisir,
ketika bersuci dan dalam setiap perkara (yang baik-baik).”
(HR. Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268)
Mengguyur air ke seluruh tubuh di sini cukup sekali saja
sebagaimana zhohir (tekstual) hadits yang membicarakan tentang mandi. Inilah
salah satu pendapat dari madzhab Imam Ahmad dan dipilih oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah.[7]
Bagaimanakah Tata Cara
Mandi pada Wanita?
Tata cara mandi junub pada wanita sama dengan tata cara mandi yang diterangkan di atas
sebagaimana telah diterangkan dalam hadits Ummu Salamah, “Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang
mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?”
Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka).
Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang
lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)
Untuk mandi karena haidh dan nifas, tata caranya sama dengan
mandi junub namun ditambahkan dengan beberapa hal berikut ini:
Pertama: Menggunakan sabun dan
pembersih lainnya beserta air.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha,
أَنَّ أَسْمَاءَ سَأَلَتِ
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ غُسْلِ الْمَحِيضِ فَقَالَ « تَأْخُذُ
إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ
تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ
رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ. ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً
فَتَطَهَّرُ بِهَا ». فَقَالَتْ أَسْمَاءُ وَكَيْفَ تَطَهَّرُ بِهَا فَقَالَ «
سُبْحَانَ اللَّهِ تَطَهَّرِينَ بِهَا ». فَقَالَتْ عَائِشَةُ كَأَنَّهَا تُخْفِى
ذَلِكَ تَتَبَّعِينَ أَثَرَ الدَّمِ. وَسَأَلَتْهُ عَنْ غُسْلِ الْجَنَابَةِ
فَقَالَ « تَأْخُذُ مَاءً فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ – أَوْ تُبْلِغُ
الطُّهُورَ – ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ
رَأْسِهَا ثُمَّ تُفِيضُ عَلَيْهَا الْمَاءَ »
“Asma’ bertanya kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi wanita haidh. Maka beliau
bersabda, “Salah seorang dari kalian hendaklah mengambil air dan daun
bidara, lalu engkau bersuci, lalu membaguskan bersucinya. Kemudian
hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya dengan
keras hingga mencapai akar rambut kepalanya. Kemudian hendaklah engkau
menyiramkan air pada kepalanya tadi. Kemudian engkau mengambil kapas bermisik,
lalu bersuci dengannya. Lalu Asma’ berkata, “Bagaimana dia dikatakan suci
dengannya?” Beliau bersabda, “Subhanallah, bersucilah kamu dengannya.” Lalu
Aisyah berkata -seakan-akan dia menutupi hal tersebut-, “Kamu sapu bekas-bekas
darah haidh yang ada (dengan kapas tadi)”. Dan dia bertanya kepada beliau tentang mandi junub,
maka beliau bersabda, ‘Hendaklah kamu mengambil air lalu bersuci dengan
sebaik-baiknya bersuci, atau bersangat-sangat dalam bersuci kemudian kamu
siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar kepalanya,
kemudian mencurahkan air padanya’.” (HR. Bukhari no. 314
dan Muslim no. 332)
Kedua: Melepas kepangan
sehingga air sampai ke pangkal rambut.
Dalil hal ini adalah hadits yang telah lewat,
ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا
“Kemudian hendaklah kamu
menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya dengan keras hingga
mencapai akar rambut kepalanya.” Dalil ini menunjukkan
tidak cukup dengan hanya mengalirkan air seperti halnya mandi junub. Sedangkan
mengenai mandi junub disebutkan,
ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا
فَتَدْلُكُهُ حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تُفِيضُ عَلَيْهَا الْمَاءَ
“Kemudian kamu siramkan
air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar kepalanya, kemudian
mengguyurkan air padanya.”
Dalam mandi junub tidak disebutkan “menggosok-gosok dengan keras”. Hal ini menunjukkan
bedanya mandi junub dan mandi karena haidh/nifas.
Ketiga: Ketika mandi sesuai
masa haidh, seorang wanita disunnahkan membawa kapas atau potongan kain untuk mengusap
tempat keluarnya darah guna menghilangkan sisa-sisanya. Selain itu, disunnahkan
mengusap bekas darah pada kemaluan setelah mandi dengan minyak misk atau parfum
lainnya. Hal ini dengan tujuan untuk menghilangkan bau yang tidak enak karena
bekas darah haidh.
Perlukah Berwudhu Seusai
Mandi?
Cukup kami bawakan dua riwayat tentang hal ini,
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِىَّ
-صلى الله عليه وسلم- كَانَ لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الْغُسْلِ
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berwudhu setelah selesai mandi.” (HR.
Tirmidzi no. 107, An Nasai no. 252, Ibnu Majah no. 579, Ahmad 6/68. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar,
سُئِلَ عَنِ الْوُضُوءِ بَعْدَ
الْغُسْلِ؟ فَقَالَ:وَأَيُّ وُضُوءٍ أَعَمُّ مِنَ الْغُسْلِ؟
Beliau ditanya mengenai wudhu setelah mandi. Lalu beliau
menjawab, “Lantas wudhu yang mana
lagi yang lebih besar dari mandi?” (HR. Ibnu Abi Syaibah
secara marfu’ dan mauquf[8])
Abu Bakr Ibnul ‘Arobi berkata, “Para ulama tidak berselisih pendapat bahwa wudhu telah masuk
dalam mandi.” Ibnu Baththol juga telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan
ulama) dalam masalah ini.[9]
Penjelasan ini adalah sebagai alasan yang kuat bahwa jika
seseorang sudah berniat untuk mandi wajib, lalu ia mengguyur seluruh badannya
dengan air, maka setelah mandi ia tidak perlu berwudhu lagi, apalagi jika
sebelum mandi ia sudah berwudhu.
Apakah Boleh Mengeringkan
Badan dengan Handuk Setelah Mandi?
Di dalam hadits Maimunah disebutkan mengenai tata cara mandi,
lalu diakhir hadits disebutkan,
فَنَاوَلْتُهُ ثَوْبًا فَلَمْ
يَأْخُذْهُ ، فَانْطَلَقَ وَهْوَ يَنْفُضُ يَدَيْهِ
“Lalu aku sodorkan kain
(sebagai pengering) tetapi beliau tidak mengambilnya, lalu beliau pergi dengan
mengeringkan air dari badannya dengan tangannya” (HR.
Bukhari no. 276). Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama memakruhkan mengeringkan badan setelah
mandi. Namun yang tepat, hadits tersebut bukanlah pendukung pendapat tersebut dengan beberapa alasan:
1. Perbuatan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
itu masih mengandung beberapa kemungkinan. Boleh jadi beliau tidak mengambil
kain (handuk) tersebut karena alasan lainnya yang bukan maksud untuk
memakruhkan mengeringkan badan ketika itu. Boleh jadi kain tersebut mungkin
sobek atau beliau buru-buru saja karena ada urusan lainnya.
2. Hadits
ini malah menunjukkan bahwa kebiasaan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah mengeringkan badan sehabis mandi.
Seandainya bukan kebiasaan beliau, maka tentu saja beliau tidak dibawakan
handuk ketika itu.
3. Mengeringkan
air dengan tangan menunjukkan bahwa mengeringkan air dengan kain bukanlah
makruh karena keduanya sama-sama mengeringkan.
Kesimpulannya,
mengeringkan air dengan kain (handuk) tidaklah mengapa.[10]
Demikian pembahasan kami seputar mandi wajib (al ghuslu). Tata cara di atas juga berlaku untuk mandi
yang sunnah yang akan kami jelaskan pada tulisan selanjutnya (serial ketiga
atau terakhir).
Semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Selesai susun di wisma MTI, 7 Jumadits Tsani 1431 H (20/05/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id