Fungsi niat dalam ibadah sangatlah penting. Karena itu setiap muslim harus senantiasa memperbaiki niat dalam ibadahnya, yaitu ikhlas untuk Allah semata.
‘Umar ibnul Khaththab ra. berkata: Aku mendengar Nabi saw. bersabda:
“Amalan-amalan itu hanyalah tergantung dengan niatnya. Dan setiap orang hanyalah mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Maka siapa yang amalan hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia peroleh atau karena wanita yang ingin ia nikahi maka hijrahnya itu kepada apa yang dia tujukan/niatkan.”
Hadits yang agung di atas diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam beberapa tempat di kitab Shahih-nya (hadits no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689, 6953) dan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 1908).
Al-Imam Al-Bukhari membuka kitab Shahih-nya dengan hadits ini dan menempatkannya seperti khutbah/mukaddimah bagi kitab beliau, sebagai isyarat bahwasanya setiap amalan yang tidak ditujukan untuk mendapatkan wajah Allah Subhanahu Wata’ala maka amalan itu batil, tidak akan diperoleh buah/hasilnya di dunia, terlebih lagi di akhirat. Karena itulah berkata Abdurrahman bin Mahdi: “Seandainya aku membuat bab-bab dalam sebuah kitab niscaya aku tempatkan pada setiap bab hadits Umar tentang amalan itu dengan niatnya.” Beliau juga mengatakan: “Siapa yang ingin menulis sebuah kitab maka hendaknya ia memulai dengan hadits .” (Jam’iul ‘Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab Al-Hambali, hal. 59-60. Muassasah Ar-Risalah, cet. ke-4, th. 1413 H/1993 M)
Hadits ini selain diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim, juga diriwayatkan para imam yang lain. Dan komentar tentang hadits ini kami cukupkan dengan menukil ucapan Ibnu Rajab Al-Hambali di atas karena terdapatnya kifayah (kecukupan/memadai).
Penjelasan Hadits
Dari hadits di atas kita pahami bahwasanya setiap orang akan memperoleh balasan dari amalan yang dilakukan sesuai dengan niatnya. Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah berkata: “Setiap amalan yang dilakukan seseorang baik berupa kebaikan ataupun kejelekan tergantung dengan niatnya. Apabila ia tujukan dengan perbuatan tersebut niatan/maksud yang baik maka ia mendapatkan kebaikan, sebaliknya bila maksudnya jelek maka ia mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” Beliau juga mengatakan: “Hadits ini mencakup di dalamnya seluruh amalan, yakni setiap amalan harus disertai niat. Dan niat ini yang membedakan antara orang yang beramal karena ingin mendapatkan ridha Allah I dan pahala di negeri akhirat, dengan orang yang beramal karena ingin dunia, baik berupa harta, kemuliaan, pujian, sanjungan, pengagungan dan selainnya.” (Makarimul Akhlaq, hal. 26 dan 27)
Di sini kita bisa melihat arti pentingnya niat sebagai ruh amal, inti dan sendinya. Amal menjadi benar karena niat yang benar dan sebaliknya amal menjadi rusak karena niat yang rusak.
Dinukilkan dari sebagian salaf ucapan mereka yang bermakna: “Siapa yang senang untuk disempurnakan amalan yang dilakukannya maka hendaklah ia membaikkan niatnya. Karena Allah Subahanu Wata’ala memberi pahala bagi seorang hamba apabila baik niatnya, sampaipun satu suapan yang dia berikan (akan diberi pahala).”
Ibnul Mubarak berkata: “Berapa banyak amalan yang sedikit bisa menjadi besar karena niat dan berapa banyak amalan yang besar bisa bernilai kecil karena niatnya.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 71)
Perlu diketahui, suatu perkara yang sifatnya mubah, pelakunya bisa diberi pahala karena niat yang baik. Seperti orang yang makan dan minum. Jika ia niatkan perbuatan tersebut dalam rangka membantunya untuk taat kepada Allah Subahanu Wata’ala dan bisa menegakkan ibadah kepada-Nya, maka orang tersebut akan diberi pahala. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan: “Perkara mubah pada diri orang-orang yang khusus dari kalangan muqarrabin (mereka yang selalu berupaya mendekatkan diri kepada Allah Subahanu Wata’ala) bisa berubah menjadi ketaatan dan qurubat (perbuatan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subahanu Wata’ala) karena niat.” (Madarijus Salikin 1/107)
Al-Imam An-Nawawi t dalam Syarah Shahih Muslim (7/92) ketika menjelaskan hadits:
“Dan pada kemaluan salah seorang dari kalian (menggauli istri) ada sedekah.”
beliau menyatakan: “Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwasanya perkara-perkara mubah bisa menjadi amalan ketaatan dengan niat yang baik. Jima’ (bersetubuh) dengan istri bisa bernilai ibadah apabila seseorang meniatkan untuk menunaikan hak istri dan bergaul dengan cara yang baik terhadapnya sesuai dengan apa yang Allah Subahanu Wata’ala perintahkan. Atau ia bertujuan untuk mendapatkan anak yang shalih, menjaga kehormatan diri atau istrinya, mencegah keduanya dari melihat perkara yang haram, berfikir kepada perkara haram atau berkeinginan melakukan perkara haram serta tujuan-tujuan tidak baik lainnya.”(Syarh Shahih Muslim, 3/44)
Meluruskan Niat
Seorang hamba harus terus berupaya memperbaiki niat dan meluruskannya agar apa yang dia lakukan berbuah kebaikan. Dan memperbaiki niat ini perlu mujahadah (kesungguh-sungguhan dengan mencurahkan segala daya upaya). Karena sulitnya meluruskan niat ini sampai-sampai Sufyan Ats-Tsauri t berkata: “Bagiku, tidak ada suatu perkara yang paling berat untuk aku obati daripada meluruskan niatku, karena niat pada diriku itu bisa berubah-ubah.” (Hilyatul Auliya, 7/5 dan 62)
Dan niat itu harus ditujukan semata untuk Allah Subahanu Wata’ala, ikhlas karena mengharapkan wajah-Nya yang Mulia. Ibadah tanpa keikhlasan niat maka tertolak sebagaimana bila ibadah itu tidak mencocoki tuntunan Rasulullah saw. Allah Subahanu Wata’ala berfirman tentang ikhlas dalam ibadah ini, yang artinya: “Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dalam keadaan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (Al-Bayyinah: 5)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmu‘ Fatawa (10/49): “Mengikhlaskan agama untuk Allah Subahanu Wata’ala adalah pokok ajaran agama ini yang Allah Subahanu Wata’ala tidak menerima selainnya. Dengan ajaran agama inilah Allah Subahanu Wata’ala mengutus rasul yang pertama sampai rasul yang terakhir, yang karenanya Allah Subahanu Wata’ala menurunkan seluruh kitab. Ikhlas dalam agama merupakan perkara yang disepakati oleh para imam ahlul iman. Dan ia merupakan inti dakwah para nabi dan poros Al-Qur’an.”
Yang perlu diingat bahwasanya niat itu tempatnya di hati sehingga tidak boleh dilafadzkan dengan lisan. Bahkan termasuk perbuatan bid’ah bila niat itu dilafadzkan.
Pelajaran yang Dipetik dari Hadits Ini
1. Niat itu termasuk bagian dari iman karena niat termasuk amalan hati.
2. Wajib bagi seorang muslim mengetahui hukum suatu amalan sebelum ia melakukan amalan tersebut, apakah amalan itu disyariatkan atau tidak, apakah hukumnya wajib atau sunnah. Karena di dalam hadits ditunjukkan bahwasanya amalan itu bisa tertolak apabila luput darinya niatan yang disyariatkan.
3. Disyaratkannya niat dalam amalan-amalan ketaatan dan harus dita‘yin (ditentukan) yakni bila seseorang ingin shalat maka ia harus menentukan dalam niatnya shalat yang akan ia kerjakan, apakah shalat sunnah atau shalat wajib, dhuhur, atau ashar, dst. Bila ingin puasa maka ia harus menentukan apakah puasanya itu puasa sunnah, puasa qadha atau yang lainnya.
4. Amal tergantung dari niat, meliputi sah tidaknya, sempurna atau kurangnya, taat atau maksiat.
5. Seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Namun perlu diingat, niat yang baik tidaklah merubah perkara mungkar (kejelekan) itu menjadi ma’ruf (kebaikan), dan tidak menjadikan yang bid’ah menjadi sunnah.
6. Wajibnya berhati-hati dari riya`, sum‘ah (beramal karena ingin didengar orang lain), dan tujuan dunia lainnya, karena perkara tersebut merusakkan ibadah kepada Allah Subahanu Wata’ala.
7. Hijrah (berpindah) dari negeri kafir ke negeri Islam memiliki keutamaan yang besar dan merupakan ibadah bila diniatkan karena Allah Subahanu Wata’ala dan Rasul-Nya.
Wallahu a‘lam bish-shawab.